Etika dan Ilmu Pengetahuan
NAMA : YANI
NPM : 16 630 025
TUGAS 5
MAKALAH ETIKA PROFESI
Tentang Etika dan Ilmu Pengetahuan
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat allah swt, yang mana atas ridho dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah materi kuliah “ETIKA PROFESI TENTANG ETIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ” dengan tepat waktu. Makalah ini berisi uraian tentang etika dan ilmu pengetahuan.
Saya mengucapkan terimakasih kepada teman-teman dan dosen yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Diharapkan makalah ini menambah pengetahuan dan pemahaman dikalangan mahasiswa dan pembaca tentang etika dan ilmu pengetahuan.
Saya menyadari bahwa penulisan dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu dengan tangan terbuka saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi kita semua.
Demikian makalah ini saya susun, bila ada kata-kata yang salah dalam penyusunan makalah ini,saya memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Bau-bau, 19 November 2018
Penulis.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seperti yang telah kita ketahui bahwa ilmu pengetahuan bukanlah pengetahuan yang datang dengan sendirinya seperti barang yang sudah jadi, karena ilmu pengetahuan memiliki suatu cara pemikiran yang khusus dengan pendekatan yang khas sehingga menghasilkan pengetahuan yang dapat dibagi, diuji dan dipertanggungjawabkan secara terbuka. Dan dalam dunia keilmuan juga mempunyai etika tersendiri untuk memperolehnya.
Setiap aspek kehidupan memiliki etika yang harus ditaati, demikian pula dalam kehidupan ilmiah memiliki etika yang biasa disebut dengan nama ”etika keilmuan” yang mencakup tentang nilai-nilai yang baik maupun yang buruk, dan mengenai hak serta kewajiban bagi seorang ilmuwan atau mahasiswa. Oleh karena itu kami menyusun makalah ini agar kita mampu memahami tentang etika keilmuan dan menerapkannya dalam kehidupan sosial terutama bagi kita sebagai seorang mahasiswa yang diharuskan mampu memahami dan menerapkan suatu ilmu dengan tepat.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini
1. Mengetahui pengertian etika keilmuan dan hal-hal yang harud di perhatikan dalam etika ilmuan
2. Mengetahui problem etika keilmuan
3. Ilmu bebas nilai dan ilmu tak benas nilai
4. Sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuan
BAB II PEMBAHASAN
1. Etika Keilmuwan
Istilah etika keilmuwan mengantarkan kita pada kontemplasi mendalam, baik mengenai hakekat, proses pembentukan, lembaga yang memproduksi ilmu lingkungan yang kondusif dalam pengembangan ilmu, maupun moralitas dalam memperoleh dan mendayagunakan ilmu tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan.
A. Etika
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga (2005:309), etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral. Moral yang dimaksudkan di sini adalah akhlak, yakni budi pekerti atau kelakuan makhluk hidup. itu dengan kata lain disebutkan bahwa etika itu membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang baik, yang di dalamnya ada aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan sebagainya.
Dapat diketahui bahwa persoalan etika tidak terlepas dari pengetahuan tentang manusia sebagai makhluk hidup yang sempurna. Jika kembali kepada kata muasalnya, etika berasal dari bahasa Yunani; ethos, yang artinya kebiasaan, perbuatan atau tingkah laku manusia tetapi bukan adat, melainkan adab
B. Moral
Kata moral identik dengan suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu didasarkan kepada pengertian mengenai baik-buruk. Berbicara tentang moral seseorang sama dengan membicarakan tentang kepribadian seseorang yang dimaksud. Karena itu, sesungguhnya moral telah membuat posisi manusia berbeda atau lebih sempurna daripada makhluk Tuhan lainnya.
KBBI membuat dua pandangan tentang pengertian moral. Pertama, sebagai ajaran tentang baik-buruk yang diterima akibat perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya oleh manusia. Kedua, kondisi mental yang mebuat orang tetap berani, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya, yang berpangkal pada isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan (KBBI, 2005:6-7).
C. Norma
Norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat kelompok warga di dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima. Norma juga dapat disebutkan sebagai ukuran atau kaidah yang menjadi tolok ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu .Misalnya, setiap masyarakat harus menaati suatu tata tertib yang berlaku.
D. Kesusilaan
Kesusilaan atau susila merupakan bagian kecil dari norma sehingga kita mengenal nama norma susila, yaitu aturan yang menata tindakan manusia dalam pergaulan sosial sehari-hari, seperti pergaulan antara pria dan wanita. Kesusilaan dapat pula menjadi bagian dari adab dan sopan santun.
Di samping empat hal di atas, tinjauan filsafat juga mesti memiliki estetika, yakni mengenai keindahan dan implementasinya dalam kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.
2. Problem etika ilmu pengetahuan
Problem adalah suatu masalah, kendala atau persoalan yang harus dipecahkan dengan kata lain problematika merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan suatau yang diharapkan dengan baik, agar tercapai tujuan dengan hasil yang maksimal.
Disini Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan. Tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal. karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkannya. Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan “menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh eksistensi manusia.
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu dicegah perkembangannya, karena sudah kodratnya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia sekarang hidup dalam kondisi sosio-teknik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu pengetahuan – berbentuk teknologi – pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga seolah-olah sekarang ini teknologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya.
Selain daripada itu, meskipun ilmu pengetahuan dengan penerapan praksisnya sukar sekali dipisahkan, tetapi jelas karena sudah menyangkut relasi antar manusia yang bersifat nyata, dan bukan sekedar perbincangan teoritik harus dikendalikan secara moral. Sebab ilmu pengetahuan dan penerapannya yang berupa teknologi apabila tidak tepat dalam mewujudkan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia akan dapat menimbulkan ketidakadilan karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, pengurangan kualitas manusia karena martabat manusia justru direndahkan dengan menjadi budak teknologi, kerisauan sosial yang mungkin sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial seperti meningkatnya tingkat kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali, pelacuran dan sebagainya. Terjadi pula fenomena depersonalisasi, dehumanisasi, karena manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual. Bahkan dapat memicu konflik-konflik sosial-politik, karena menguasai ilmu pengetahuan (teknologi) dapat memperkuat posisi politik atau sebaliknya orang yang berebut posisi politik agar dapat menguasai aset ilmu dan teknologi. Semuanya mengisyaratkan pentingnya etika yang mengatur keseimbangan antar ilmu pengetahuan dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara industriawan selaku produsen dengan konsumen.
Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari. Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang menyadari keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat bergua bagi manusia.
Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat. Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat” olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa yang seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia yang utuh. Pada dasarnya mengupayakan rumusan konsekonsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai kepada rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana keputusan tindakan manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering dipandang banyak orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan apabila harus diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas permasalahan manusia yang bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai “kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan kriteria-kriteria baik buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai dengan daerah yang ditanganinya.
Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan. Tidak ada pengetahuan yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan, “apakah sesuatu itu baik atau jahat”. “Apa” yang dikejar oleh pengetahuan, menjelma menjadi “Bagaimana” dari etika. Etika dalam hal ini dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang memperbincangkan bagaimana teknik yang mengelola kelakuan manusia. Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah dari perorangan, mengenai yang halal dan yang haram. Tetapi berkembag menjadi sesuatu etika makro yang mampu merencanakan masyarakat sedemikian rupa sehingga manusia dapat belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya sendiri.
Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil teknologi moderen dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar memberikan isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam peristiwa aktual dan faktual manusia, sehingga terjadi hubungan timbal balik dengan apa yang sebenarnya terjadi.
3. Ilmu: Bebas Nilai dan Tidak Bebas Nilai
Ilmu pengetahuan yang dikatakan bebas nilai adalah pada pandangan bahwa ilmu itu berkembang tanpa merujuk pada suatu hukum atau sistem tertentu. Beda dengan teknologi. Karena teknologi lahir atas dasar penciptaan manusia, ia terikat oleh suatu aturan atau sistem, terikat juga dengan selera pasar dan perundang-undangan. Namun, bagaimana mengetahui tentang teknologi, tak diikat oleh undang-undang apa pun. Allah swt. sendiri berfirman untuk memberikan kebebasan bagi hamba-Nya menjelajahi seluruh jagat raya, di bumi dan di langit, yang semua itu hanya bisa dilakukan dengan ilmu.
Akan tetapi, jika kita mengacu kepada pengertian yang ditulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dikatakan ilmu adalah:
“Pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di dalam bidang (pengetahuan) tersebut.” (KBBI, 2005:423)
Dengan pengertian yang diberikan oleh KBBI tercermin bahwa sebuah ilmu mesti memiliki sistemik dan sistematis sehingga terkesan ada hal yang mengingkatnya sebagai suatu nilai.
4. Sikap Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan
Sikap dan perilaku sangat penting dalam kehidupan. Setiap tingkah laku, dan perilaku seseorang akan menjadi tolok ukur tentang kepribadian seseorang tersebut. Oleh karena itu, seorang ilmuwan mesti memiliki sikap ilmiah yang mencerminkan dirinya sebagai ilmuwan. Sikap dimaksud bisa berupa rendah diri, tidak sombong atau angkuh, dan selalu menghargai orang lain. Karenanya, seorang yang memiliki ilmu dan sikap yang baik cenderung dikaitkan dengan padi atau kepada seseorang yang memiliki ilmu akan diminta untuk memiliki “ilmu padi” semakin merunduk semakin berisi.
Sikap ilmiah diharapkan dimiliki oleh seorang ilmuwan sebab sesuai dengan pengertiannya bahwa ilmuwan adalah orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu. Ilmuwan dapat pula dikatakan kepada orang yang berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan.
Kaitannya dalam pembahasan ini, sikap ilmiah dimaksudkan bagi seorang ilmuwan adalah memiliki dan memahami etika, moral, norma, dan kesusialaan.
Diederich mengidentifikasikan 20 komponen sikap ilmiah sebagai berikut :
a. Selalu meragukan sesuatu.
b. Percaya akan kemungkinan penyelesaian masalah.
c. Selalu menginginkan adanya verifikasi eksprimental.
d. Tekun.
e. Suka pada sesuatu yang baru.
f. Mudah mengubah pendapat atau opini.
g. Loyal terrhadap kebenaran.
h. Objektif
i. Enggan mempercayai takhyul.
j. Menyukai penjelasan ilmiah.
k. Selalu berusaha melengkapi penegathuan yang dimilikinya.
l. Dapat membedakan antara hipotesis dan solusi.
m. Menyadari perlunya asumsi.
n. Pendapatnya bersifat fundamental.
o. Menghargai struktur teoritis
p. Menghargai kuantifikasi
q. Dapat menerima penegrtian kebolehjadian dan,
r. Dapat menerima pengertian generalisasi
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada beberapa sikap yang mesti dimiliki seorang ilmuwan, yakni etika, moral, norma, kesusilaan, dan estetika. Sikap-sikap ini akan mencerminkan kepribadian seorang ilmuwan. Jika sikap-sikap di atas tidak dimiliki, kendati seseorang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, “derajatnya” akan dipandang rendah oleh masyarakat. Hal ini senada dengan firman Allah swt dalam Q.S. Al-Mujadalah: 11. “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang berilmu pengetahuan bertingkat-tingkat.”
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan belum sempurna maka dari itu perlu saran dari teman-teman untuk menyempurnakan makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
Afid Burhanuddin
http//afidburhanuddin.wordpres.com
NPM : 16 630 025
TUGAS 5
MAKALAH ETIKA PROFESI
Tentang Etika dan Ilmu Pengetahuan
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat allah swt, yang mana atas ridho dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah materi kuliah “ETIKA PROFESI TENTANG ETIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ” dengan tepat waktu. Makalah ini berisi uraian tentang etika dan ilmu pengetahuan.
Saya mengucapkan terimakasih kepada teman-teman dan dosen yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Diharapkan makalah ini menambah pengetahuan dan pemahaman dikalangan mahasiswa dan pembaca tentang etika dan ilmu pengetahuan.
Saya menyadari bahwa penulisan dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu dengan tangan terbuka saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi kita semua.
Demikian makalah ini saya susun, bila ada kata-kata yang salah dalam penyusunan makalah ini,saya memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Bau-bau, 19 November 2018
Penulis.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seperti yang telah kita ketahui bahwa ilmu pengetahuan bukanlah pengetahuan yang datang dengan sendirinya seperti barang yang sudah jadi, karena ilmu pengetahuan memiliki suatu cara pemikiran yang khusus dengan pendekatan yang khas sehingga menghasilkan pengetahuan yang dapat dibagi, diuji dan dipertanggungjawabkan secara terbuka. Dan dalam dunia keilmuan juga mempunyai etika tersendiri untuk memperolehnya.
Setiap aspek kehidupan memiliki etika yang harus ditaati, demikian pula dalam kehidupan ilmiah memiliki etika yang biasa disebut dengan nama ”etika keilmuan” yang mencakup tentang nilai-nilai yang baik maupun yang buruk, dan mengenai hak serta kewajiban bagi seorang ilmuwan atau mahasiswa. Oleh karena itu kami menyusun makalah ini agar kita mampu memahami tentang etika keilmuan dan menerapkannya dalam kehidupan sosial terutama bagi kita sebagai seorang mahasiswa yang diharuskan mampu memahami dan menerapkan suatu ilmu dengan tepat.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini
1. Mengetahui pengertian etika keilmuan dan hal-hal yang harud di perhatikan dalam etika ilmuan
2. Mengetahui problem etika keilmuan
3. Ilmu bebas nilai dan ilmu tak benas nilai
4. Sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuan
BAB II PEMBAHASAN
1. Etika Keilmuwan
Istilah etika keilmuwan mengantarkan kita pada kontemplasi mendalam, baik mengenai hakekat, proses pembentukan, lembaga yang memproduksi ilmu lingkungan yang kondusif dalam pengembangan ilmu, maupun moralitas dalam memperoleh dan mendayagunakan ilmu tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan.
A. Etika
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga (2005:309), etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral. Moral yang dimaksudkan di sini adalah akhlak, yakni budi pekerti atau kelakuan makhluk hidup. itu dengan kata lain disebutkan bahwa etika itu membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang baik, yang di dalamnya ada aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan sebagainya.
Dapat diketahui bahwa persoalan etika tidak terlepas dari pengetahuan tentang manusia sebagai makhluk hidup yang sempurna. Jika kembali kepada kata muasalnya, etika berasal dari bahasa Yunani; ethos, yang artinya kebiasaan, perbuatan atau tingkah laku manusia tetapi bukan adat, melainkan adab
B. Moral
Kata moral identik dengan suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu didasarkan kepada pengertian mengenai baik-buruk. Berbicara tentang moral seseorang sama dengan membicarakan tentang kepribadian seseorang yang dimaksud. Karena itu, sesungguhnya moral telah membuat posisi manusia berbeda atau lebih sempurna daripada makhluk Tuhan lainnya.
KBBI membuat dua pandangan tentang pengertian moral. Pertama, sebagai ajaran tentang baik-buruk yang diterima akibat perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya oleh manusia. Kedua, kondisi mental yang mebuat orang tetap berani, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya, yang berpangkal pada isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan (KBBI, 2005:6-7).
C. Norma
Norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat kelompok warga di dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima. Norma juga dapat disebutkan sebagai ukuran atau kaidah yang menjadi tolok ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu .Misalnya, setiap masyarakat harus menaati suatu tata tertib yang berlaku.
D. Kesusilaan
Kesusilaan atau susila merupakan bagian kecil dari norma sehingga kita mengenal nama norma susila, yaitu aturan yang menata tindakan manusia dalam pergaulan sosial sehari-hari, seperti pergaulan antara pria dan wanita. Kesusilaan dapat pula menjadi bagian dari adab dan sopan santun.
Di samping empat hal di atas, tinjauan filsafat juga mesti memiliki estetika, yakni mengenai keindahan dan implementasinya dalam kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.
2. Problem etika ilmu pengetahuan
Problem adalah suatu masalah, kendala atau persoalan yang harus dipecahkan dengan kata lain problematika merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan suatau yang diharapkan dengan baik, agar tercapai tujuan dengan hasil yang maksimal.
Disini Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan. Tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal. karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkannya. Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan “menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh eksistensi manusia.
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu dicegah perkembangannya, karena sudah kodratnya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia sekarang hidup dalam kondisi sosio-teknik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu pengetahuan – berbentuk teknologi – pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga seolah-olah sekarang ini teknologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya.
Selain daripada itu, meskipun ilmu pengetahuan dengan penerapan praksisnya sukar sekali dipisahkan, tetapi jelas karena sudah menyangkut relasi antar manusia yang bersifat nyata, dan bukan sekedar perbincangan teoritik harus dikendalikan secara moral. Sebab ilmu pengetahuan dan penerapannya yang berupa teknologi apabila tidak tepat dalam mewujudkan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia akan dapat menimbulkan ketidakadilan karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, pengurangan kualitas manusia karena martabat manusia justru direndahkan dengan menjadi budak teknologi, kerisauan sosial yang mungkin sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial seperti meningkatnya tingkat kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali, pelacuran dan sebagainya. Terjadi pula fenomena depersonalisasi, dehumanisasi, karena manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual. Bahkan dapat memicu konflik-konflik sosial-politik, karena menguasai ilmu pengetahuan (teknologi) dapat memperkuat posisi politik atau sebaliknya orang yang berebut posisi politik agar dapat menguasai aset ilmu dan teknologi. Semuanya mengisyaratkan pentingnya etika yang mengatur keseimbangan antar ilmu pengetahuan dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara industriawan selaku produsen dengan konsumen.
Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari. Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang menyadari keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat bergua bagi manusia.
Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat. Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat” olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa yang seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia yang utuh. Pada dasarnya mengupayakan rumusan konsekonsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai kepada rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana keputusan tindakan manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering dipandang banyak orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan apabila harus diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas permasalahan manusia yang bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai “kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan kriteria-kriteria baik buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai dengan daerah yang ditanganinya.
Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan. Tidak ada pengetahuan yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan, “apakah sesuatu itu baik atau jahat”. “Apa” yang dikejar oleh pengetahuan, menjelma menjadi “Bagaimana” dari etika. Etika dalam hal ini dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang memperbincangkan bagaimana teknik yang mengelola kelakuan manusia. Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah dari perorangan, mengenai yang halal dan yang haram. Tetapi berkembag menjadi sesuatu etika makro yang mampu merencanakan masyarakat sedemikian rupa sehingga manusia dapat belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya sendiri.
Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil teknologi moderen dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar memberikan isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam peristiwa aktual dan faktual manusia, sehingga terjadi hubungan timbal balik dengan apa yang sebenarnya terjadi.
3. Ilmu: Bebas Nilai dan Tidak Bebas Nilai
Ilmu pengetahuan yang dikatakan bebas nilai adalah pada pandangan bahwa ilmu itu berkembang tanpa merujuk pada suatu hukum atau sistem tertentu. Beda dengan teknologi. Karena teknologi lahir atas dasar penciptaan manusia, ia terikat oleh suatu aturan atau sistem, terikat juga dengan selera pasar dan perundang-undangan. Namun, bagaimana mengetahui tentang teknologi, tak diikat oleh undang-undang apa pun. Allah swt. sendiri berfirman untuk memberikan kebebasan bagi hamba-Nya menjelajahi seluruh jagat raya, di bumi dan di langit, yang semua itu hanya bisa dilakukan dengan ilmu.
Akan tetapi, jika kita mengacu kepada pengertian yang ditulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dikatakan ilmu adalah:
“Pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di dalam bidang (pengetahuan) tersebut.” (KBBI, 2005:423)
Dengan pengertian yang diberikan oleh KBBI tercermin bahwa sebuah ilmu mesti memiliki sistemik dan sistematis sehingga terkesan ada hal yang mengingkatnya sebagai suatu nilai.
4. Sikap Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan
Sikap dan perilaku sangat penting dalam kehidupan. Setiap tingkah laku, dan perilaku seseorang akan menjadi tolok ukur tentang kepribadian seseorang tersebut. Oleh karena itu, seorang ilmuwan mesti memiliki sikap ilmiah yang mencerminkan dirinya sebagai ilmuwan. Sikap dimaksud bisa berupa rendah diri, tidak sombong atau angkuh, dan selalu menghargai orang lain. Karenanya, seorang yang memiliki ilmu dan sikap yang baik cenderung dikaitkan dengan padi atau kepada seseorang yang memiliki ilmu akan diminta untuk memiliki “ilmu padi” semakin merunduk semakin berisi.
Sikap ilmiah diharapkan dimiliki oleh seorang ilmuwan sebab sesuai dengan pengertiannya bahwa ilmuwan adalah orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu. Ilmuwan dapat pula dikatakan kepada orang yang berkecimpung dalam bidang ilmu pengetahuan.
Kaitannya dalam pembahasan ini, sikap ilmiah dimaksudkan bagi seorang ilmuwan adalah memiliki dan memahami etika, moral, norma, dan kesusialaan.
Diederich mengidentifikasikan 20 komponen sikap ilmiah sebagai berikut :
a. Selalu meragukan sesuatu.
b. Percaya akan kemungkinan penyelesaian masalah.
c. Selalu menginginkan adanya verifikasi eksprimental.
d. Tekun.
e. Suka pada sesuatu yang baru.
f. Mudah mengubah pendapat atau opini.
g. Loyal terrhadap kebenaran.
h. Objektif
i. Enggan mempercayai takhyul.
j. Menyukai penjelasan ilmiah.
k. Selalu berusaha melengkapi penegathuan yang dimilikinya.
l. Dapat membedakan antara hipotesis dan solusi.
m. Menyadari perlunya asumsi.
n. Pendapatnya bersifat fundamental.
o. Menghargai struktur teoritis
p. Menghargai kuantifikasi
q. Dapat menerima penegrtian kebolehjadian dan,
r. Dapat menerima pengertian generalisasi
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada beberapa sikap yang mesti dimiliki seorang ilmuwan, yakni etika, moral, norma, kesusilaan, dan estetika. Sikap-sikap ini akan mencerminkan kepribadian seorang ilmuwan. Jika sikap-sikap di atas tidak dimiliki, kendati seseorang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, “derajatnya” akan dipandang rendah oleh masyarakat. Hal ini senada dengan firman Allah swt dalam Q.S. Al-Mujadalah: 11. “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang berilmu pengetahuan bertingkat-tingkat.”
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan belum sempurna maka dari itu perlu saran dari teman-teman untuk menyempurnakan makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
Afid Burhanuddin
http//afidburhanuddin.wordpres.com
Komentar
Posting Komentar